Bagaimana nasib pengidap kanker di Indonesia? Apakah harus pasrah lantaran biaya pengobatan kanker di Indonesia sangat mahal? 
Agak sakit hati memang membaca artikel yang satu ini. Namun apa boleh buat, inilah faktanya : "Tentu tidak, karena kanker bisa ditangani tuntas bila stadiumnya masih rendah. Ya, maksud saya adalah agar lebih peka dengan keganjilan yang dirasakan tubuh. Ini guna mendeteksi penyakit kanker lebih dini," ungkap spesiaslis kanker Dr Sonar Soni Panigoro beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar tentang kanker rahim di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. 

Kesimpulannya, bila penyakit kanker diantisipasi dengan sadar diri untuk datang memeriksa lebih dini, maka kemungkinan terlilit biaya berobat yang tinggi bisa dihindari. Dan kesimpulan sementaranya, pengobatan penyakit kanker tak akan menghadirkan biaya besar bila bisa diantisipasi lebih dini. Masalahnya adalah, mereka yang memiliki aktivitas sibuk, yang kerap abai dengan rasa ganjil di tubuhnya. Alhasil kanker yang hinggap di badannya itu sudah berada di stadium lanjut. 

Inilah permasalahan utama kanker, yakni menilik dari sisi sosial dan ekonomi. Aktivitas manusia saat ini penuh dengan berbagai pemicu kanker, dari mulai gaya hidup, kondisi lingkungan, makanan, hingga faktor internal seperti genetika. Lalu apa gunanya beraktivitas mencari nafkah bila dalam sekejap miskin oleh penyakit kanker? Uang yang dihasilkan akhirnya terkuras. 

Dr Sonar Soni Panigoro
(Foto: http://mru.fk.ui.ac.id)
Indonesia, bisa berkaca dari negara maju seperti Amerika Serikat, dimana dalam bisnis penanganan kanker, yang paling sering jadi masalah adalah biaya pengobatan penyakit kanker. Sebagai contoh, Sonar mengatakan bahwa sebenarnya semua orang yang bekerja di bidang medis telah mengetahui banyaknya variasi penyakit kanker. Mereka juga paham bahwa modal untuk melakukan pengobatan cukup banyak. 

Misalnya metode kemoterapi yang terus berkembang jenisnya, seiring dengan harga pengobatan yang fantastis pula. Seorang pasien kanker membutuhkan kemoterapi yang berkali-kali dilakukan, dimana sekali kemoterapi menelan biaya sekitar Rp 60 juta. "Itupun belum tentu 'selesai' karena bisa saja kambuh lagi dan perlu kemoterapi lagi. 

Sehingga dampaknya sangat besar terhadap keuangan penderita." Beda halnya bila dibandingkan dengan penyakit mematikan lainnya seperti jantung, dimana pasien hanya melakukan sekali operasi dengan biaya sekitar Rp 100 juta, lalu 'selesai'. Inilah yang disayangkan, semua jerih payah habis sudah oleh datangnya kanker. Dr Sonar Soni lalu melirik kebijakan pemerintah yang terlihat mencolok perbedaannya, dalam hal kompetisi biaya pengobatan. 

Obat-obatan kanker yang kebanyakan impor, tentunya akan dijual dengan harga mahal. Lalu Indonesia memiliki keunikan dalam hal kebijakan impor alat-alat kesehatan, yakni menganggap alat kesehatan tersebut sebagai barang mewah. "Kenapa ada alat kesehatan impor dikenai beban pajak barang mewah, sebaliknya barang elektronik yang tak lain adalah barang konsumtif malah pajaknya diperkecil? Seharusnya untuk keperluan kesehatan, pajaknya adalah 0 persen," tegas Dr Sonar Soni. 

Hal itulah yang menurutnya harus diperjuangkan, agar harga obat dan alat kesehatan yang masuk Indonesia seharga sama dengan barang impor lainnnya. Karena selama ini, persoalan kebijakan tersebut telah mengakibatkan penanganan pengobatan kanker di Indonesia tidak lagi kompetitif. Dicontohkannya, seorang penderita penyakit jantung yang dioperasi di Malaysia. 

Dengan menggunakan alat yang sama, yakni oxygenator atau alat pengambilalih fungsi jantung, biaya pengobatannya mungkin bisa saja separuh dari biaya di Indonesia. "Sehingga bila ada iming-iming pengobatan murah dari Penang atau Kuala Lumpur, itu memang benar." ungkapnya. Alhasil pengobatan kanker di Indonesia tidak bisa bersaing harga dengan yang di luar negeri. 

"Yang bisa dilakukan adalah bersaing dalam hal pelayanan saja." Saat ini, lanjut Sonar, Kementerian Kesehatan sudah memberikan sejumlah dana untuk penanganan pasien. Namun ternyata dana penjamin (BPJS maupun asuransi lainnya) sebagian besar keluar untuk pengobatan kemoterapi. Ambil contoh Jamkesmas. Memang kemoterapi tercakup dalam penjaminan Jamkesmas, namun tidak semua jenis kemoterapi. 

"Begitu juga Askes atau BPJS, tidak seluruh metode kemoterapi yang canggih dicakup biayanya, alias hanya beberapa kemoterapi canggih saja yang direkap. Karena Askes atau BPJS pun ada keterbatasan," tutur Sonar. Sehingga sangat jelas bahwa kanker berdampak secara sosial ekonomi. Maka satu-satunya cara untuk bisa hidup tentram adalah jangan sakit.